Mutmainah Korona, Mendorong Kebijakan Anggaran Responsif Gender dari Dalam Parlemen
Berita Baru, Jakarta – Yayasan Sikola Mombine bekerja sama dengan The Asia Foundation, The David Lucile &Packard Foundation, UKaid, dan Beritabaru.co mengundang Mutmainah Korona, Ketua Komisi A DPRD Palu, untuk bicara seputar anggaran responsif gender dalam podcast di kanal Sahabat Mombine pada Senin (15/3).
Acara yang diadakan sebagai sebentuk perayaan sekaligus refleksi atas Hari Perempuan yang jatuh pada 8 Maret kemarin ini membidik “Kepemimpinan Perempuan: Pengelolaan SDA dan Ketahanan Ekologis di Indonesia” sebagai tajuk.
Mutmainah Korona dalam kesempatan ini berdiskusi tentang maksud anggaran responsif gender dan cara kerjanya. Pengalokasian dana yang peka gender, menurut Korona, merujuk pada bagaimana anggaran tersebut sebisa mungkin diarahkan untuk kepentingan semua pihak.
“Anggaran responsif gender itu ya anggaran untuk kita semua. Untuk para perempuan, anak-anak, para lansia, laki-laki, dan sebagainya,” ujar perempuan yang kerap dipanggil Kak Neng ini.
Semua pihak boleh juga dipahami sebagai tidak adanya ketimpangan dalam proses penganggaran. Dana yang diterima pemerintah tidak bisa dialirkan hanya pada sebagian orang, tetapi harus merata, sebab yang menyumbang perekonoman daerah atau bahkan negara adalah seluruh masyarakat, termasuk para perempuan, anak-anak, dan lansia.
Tidak berhenti di situ, Mutmainah melanjutkan, satu hal lagi yang penting dari yang disebut sebagai anggaran peka gender ini adalah tentang adanya pengawasan. Pengawalan dari berbagai pihak sampai akhirnya dana yang sudah dianggarkan secara proporsinal bisa sampai secara tepat, tidak berhenti di titik tertentu.
“Jadi, bicara anggaran responsif, maka kita bicara soal keterlibatan masyarakat. Semisal dari pihak parlemen sudah memperjuangkan, tetapi dari teman-teman tidak ada yang menuntut atau mempertanyakan, diam begitu saja, tentu ini akan menghambat,” tegasnya.
Selain itu, di luar maksud dan cara kerja, yang menjadi penting untuk dibahas dalam anggaran peka gender adalah statistik. Yang terakhir ini berguna sebagai pijakan untuk mengeluarkan kebijakan. Ketika statistik gender yang diterima tidak sesuai, akibatnya kebijakan yang diterbitkan juga akan timpang. Jadi, statistik gender yang representatif dari setiap daerah mutlak dibutuhkan.
Dari hak cuti melahirkan hingga ruang menyusui di pasar-pasar
Di wilayah konkret, menurut Mutmainah, anggaran responsif gender berhubungan dengan adanya beberapa hal di tengah masyarakat seperti ruang menyusui di pasar-pasar, hak cuti kehamilan yang memadai, dan lintasan khusus difabel di kantor-kantor, apalagi untuk konteks Palu yang membangun kembali dari nol.
“Akibat gempa kemarin, banyak kantor rusak dan sekarang ini kan proses membangun kembali, sehingga mumpung dari nol harapan kami orientasi pembangunannya juga yang peka difabilitas dan gender. Lintasan untuk difabel itu harus, termasuk ruang untuk menyusui supaya nanti ketika para perempuan di kantor nyaman membawa anak-anaknya,” kata Mutmainah.
Lebih jauh tentang proses pengalokasian anggaran dan pembuatan kebijakan responsif gender, pola yang bisa dipakai sebenarnya sederhana. Apa yang ada di lapangan, yang dibutuhkan masyarakat, serta titik-titik yang perempuan akan rentan ketika masuk ke dalamnya, pemerintah harus mempelajarinya terlebih dulu, mencoba meraba persoalan, mencari sebab, dan menemukan inti sari atau core.
Kemudian hasil temuan ini harus dipakai sebagai pertimbangan baik untuk menyusun anggaran maupun membuat kebijakan. “Kurang lebih, begitulah hal lain yang perlu diketahui tentang anggaran peka gender,” tutur Mutmainah.
Kepemimpinan perempuan dan dominasi kuasa laki-laki
Dari empat (4) perempuan di DPRD Palu, Mutmainah Korona merupakan satu-satunya perempuan yang menjabat sebagai Ketua Komisi, yaitu Komisi A dengan Sembilan (9) anggota yang semuanya laki-laki.
Bagi Mutmainah posisi yang dijabatnya tersebut merupakan tantangan tersendiri baginya. Satu hal yang selalu menjadi pegangannya ketika mengatur komisinya adalah bagaimana yang disebut pemimpin dan yang dipimpin sesungguhnya sebatas fiksi.
“Yang selalu saya yakini adalah bahwa komisi ini milik bersama. Ketika saya menjadi ketua, bukan berarti yang harus dominan saya, tetapi siapa saja di dalamnya terbuka untuk berpendapat,” ungkapnya.
Berpijak dari pengalaman yang sedang dijalaninya tersebut, Mutmainah menyadari bahwa cara santai untuk menjadi pemimpin di tengah laki-laki adalah dengan memosisikan semua anggotanya sebagai teman, sehingga tidak ada dominasi di dalamnya.
“Apalagi, beberapa teman di komisi saya itu ada yang umurnya setara dengan kakek saya. Ada juga yang di bawah saya. Jadi, saya rasa strategi untuk kompak adalah dengan menjadikan mereka teman, setara, tidak dominan. Ya, ini sama kira-kira dengan bagaimana kita harus bergaul dengan anak-anak kita di rumah. Sebisa mungkin kita harus menjadikan mereka teman dan begitu sebaliknya, supaya relasinya saling mendukung,” jelasnya.
Di benak Mutmainah, hal paling seru dan menantang ketika menjadi ketua komisi adalah bagaimana membuat para anggota sependapat dengan apa yang dipikirkannya. Ini adalah kunci supaya perempuan memiliki kuasa yang seimbang dengan laki-laki. Meskipun di Palu hanya ada empat (4) perempuan yang menjabat sebagai wakil rakyat, Mutmainah optimis, itu merupakan kabar baik selama perempuan mampu membuat para laki-laki sepemikiran dengannya.
“Caranya bagaimana? Ya tadi, dengan tampil santai, menjadikan mereka teman, dan tidak dominan,” lanjut Mutmainah Korona.
Perempuan yang juga berperan sebagai ibu, istri, dan aktivis ini, di akhir sesi podcast, berpesan bahwa sebagai perempuan siapa pun penting untuk yakin dan percaya diri, akan selalu ada masa depan buat perempuan.
“Masa depan tidak akan ke mana-mana. Ia akan selalu ada untuk kita selama kita mau berjuang bersama-sama, belajar, termasuk menjaga alam seperti menjaga ibu kita sendiri. Sejak sekarang, cobalah kita itu tidak terlalu sering memakai plastik,” ujarnya.